Cerita akan menjadi menarik bila disampaikan dengan media pembelajaran yang tepat. Seperti yang gambar di bawah ini, cerita tentang raja monyet menjadi sangat menarik manakala guru menggunakan media yang dapat dilihat anak. Tampaknya sangat simpel ketika melihat gambar di bawah ini, namun dengan keahlian guru memainkan tokoh cerita sesuai dengan karakter yang tepat, media pembelajaran kreatif berbahan kertas menjadi sangat efektif dan efisien bagi guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Cocok untuk media belajar anak usia dini (AUD) dan SD.
Guru yang mampu memainkan karakter tokoh cerita akan sangat terbantu dengan adanya media pembelajaran kreatif seperti di bawah ini. Karakter raja monyet menjadi sangat hidup ketika guru memegang wayang kertas raja monyet. Hal yang sama juga berlaku untuk tokoh cerita yang lain. Anak yang mendengarkan guru bercerita pun menjadi antusias, karena ada obyek yang dilihat dan obyek tersebut sesuai dengan tokoh yang ada dicerita.
Mau tahu cerita apa yang dibawakan dengan media pembelajaran kreatif berbasis kertas yang ada di gambar di bawah ini. Ini dia ceritanya, silahkan dibaca dengan baik. Semoga cerita ini menjadi pilihan anda bercerita kepada anak. Pastikan nilai-nilai yang ada di cerita disampaikan dengan baik agar anak dapat menerima manfaatnya.
TAYODHAMMA-JATAKA
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Devadatta
terlahir sebagai seekor kera, yang menetap di dekat Pegunungan Himalaya sebagai
pimpinan dari bangsa kera yang semuanya merupakan keturunannya sendiri.
Dipengaruhi oleh ramalan bahwa keturunan lelakinya setelah dewasa akan
mengusirnya dari takhta kerajaannya, ia selalu mengebiri mereka dengan
menggunakan giginya sendiri. Bodhisatta merupakan keturunan dari kera ini; dan
ibunya, demi menyelamatkan anaknya yang belum lahir, melarikan diri ke sebuah
hutan di kaki pegunungan, dan pada musim itu juga ia melahirkan Bodhisatta.
Setelah tumbuh besar mencapai usia yang dapat menerima penjelasan, ia diberkahi
dengan kekuatan yang luar biasa.
“Dimanakah ayahku?” ia bertanya pada ibunya pada suatu hari. “Ia
tinggal di kaki suatu pegunungan, Anakku,” jawab ibunya, “dan ia merupakan raja
dari bangsa kera.” “Bawalah saya untuk menemuinya, Bu.” “Tidak bisa, Anakku,
ayahmu sangat takut posisinya digantikan oleh anak lelakinya, sehingga ia
mengebiri mereka semua dengan menggunakan giginya sendiri.” “Tidak masalah,
bawa saya ke sana, Bu,” kata Bodhisatta; “Saya tahu apa yang harus saya
lakukan.” Maka ibunya membawanya menemui kera tua itu. Begitu melihat putranya,
kera tua itu mempunyai keyakinan bahwa setelah dewasa Bodhisatta akan
menggantikannya. Ia memutuskan untuk berpura-pura merangkulnya dengan tujuan
meremukkan tulang Bodhisatta. “Ah,, Anakku!” ia berseru; “Dimanakah engkau
selama ini?” Sambil melakukan pertunjukan merangkul Bodhisatta, ia memeluknya seperti
sebuah jepitan. Namun Bodhisatta yang sekuat gajah, memeluknya kembali dengan
erat sehingga tulung rusuk ayahnya seperti akan patah.
Kera tua ini berpikir, “Anakku ini, jika tumbuh dewasa, pasti akan
membunuhku.” Ia mencari-cari cara untuk membunuh Bodhisatta. Ia mengingatkan
pada dirinya sendiri akan keberadaan sebuah kolam di dekat sana, yang dihuni
oleh seorang raksasa yang mungkin akan memangsa anaknya. Ia berkata pada
Bodhisatta, “Saya telah tua, Anakku, dan akan segera mewariskan bangsa kera ini
padamu; hari ini engkau akan dinobatkan menjadi raja. Di dekat sini, ada sebuah
kolam yang ditumbuhi oleh dua jenis teratai air, tiga jenis teratai biru, dan
lima jenis teratai putih. Pergi dan petiklah beberapa tangkai untukku.” “Baik,
Ayah,” jawab Bodhisatta; ia segera berangkat. Bodhisatta mendekat pada kolam
tersebut dengan penuh kewaspadaan, ia melihat jejak-jejak kaki di kolam,
mengamati bagaimana semua jejak itu menuruni kolam tersebut, namun tidak
ditemui adanya jejak yang naik kembali. Menyadari bahwa kolam tersebut dihuni
oleh raksasa, ia memprediksikan ayahnya yang tidak mampu membunuhnya sendiri,
berharap agar ia dibunuh oleh raksasa itu. “Namun, saya akan mengambilkan
teratai-teratai tersebut,” katanya, “tanpa masuk ke dalam kolam sama sekali.”
Ia pergi ke tempat yang kering, berlari sambil meloncat dari pinggir sungai.
Dalam loncatan tersebut, saat melewati kolam, ia memetik dua kuntum bunga yang
tumbuh di permukaan air, dan mendarat dengan membawa bunga-bunga tersebut di
seberang kolam. Saat kembali, ia mengambil dua kuntum lagi dengan cara yang
sama, saat ia melompat. Dengan demikian, ia membuat tumpukan di masingmasing
sisi kolam, — namun ia selalu menjaga agar tidak melewati wilayah air yang
merupakan daerah kekuasaan raksasa. Setelah memetik bunga secukup yang bisa ia
bawa untuk menyeberang, dan sedang mengumpulkan semua bunga-bunga itu di
pinggir kolam, raksasa yang merasa heran itu berseru, “Saya telah hidup cukup
lama di kolam ini, namun tidak pernah melihat, termasuk manusia, ada yang
memiliki kepintaran yang demikian mengagumkan! Di sini ada seekor kera yang
memetik semua bunga yang ia inginkan, dan tetap aman dari wilayah kekuasaanku.”
Meninggalkan kolam dengan air yang bergelom-bang, raksasa itu keluar dari kolam
menuju ke tempat Bodhisatta berdiri, dan menyapa, “Wahai Raja Kera, ia yang
memiliki tiga keahlian dapat menguasai semua musuhnya; dan kamu, saya duga,
memiliki ketiganya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi
syair berikut ini sebagai pujian kepada Bodhisatta : —
Siapa pun yang seperti dirimu, wahai Raja Kera,
menggabungkan ketangkasan, keberanian dan akal,
dapat melihat musuh-musuhnya berbalik dan
menemukan jalan membebaskan diri.
Setelah menyelesaikan pujian tersebut, ia bertanya pada Bodhisatta mengapa
ia mengumpulkan bunga-bunga tersebut.
“Ayah saya ingin menjadikan saya sebagai raja bangsa kera,” kata
Bodhisatta, “untuk itulah saya mengumpulkan bungabunga ini.”
“Makhluk tanpa tandingan seperti dirimu tidak seharusnya membawa
bunga-bunga ini,” seru raksasa tersebut; “Saya akan membawakannya untukmu.”
Setelah mengucapkan katakata tersebut, ia memungut bunga-bunga itu dan
mengikuti Bodhisatta dari belakang.
Melihat kejadian tersebut dari jauh, ayah Bodhisatta tahu rencananya
telah gagal. “Saya ingin mengirim anak itu untuk menjadi umpan raksasa, dan
sekarang ia kembali dengan sehat dan selamat, bersama raksasa yang merendahkan
diri membawakan bunga untuknya! Saya telah dihancurkannya!” teriak kera tua
itu, dan jantungnya hancur berantakan dalam tujuh potongan. Ia mati di sana
saat itu juga. Semua kera berkumpul bersama, memilih Bodhisatta menjadi raja
mereka.
____________________
Pada kisah Jataka ini, Sang Buddha mempertautkan dan menjelaskan
tentang kelahiran tersebut kepada para bhikkhu dengan berkata, “Devadatta
adalah raja kera itu, dan Saya sendiri adalah anaknya.”
(Sumber : Indonesia Tipitaka Center)