Wayang adalah kesenian khas bangsa Indonesia. Ada beragam jenis wayang di Indonesia, seperti wayang orang atau wong, wayang kulit, wayang golek. Pada perkembangannya, wayang tidak hanya dipentaskan untuk menceritakan cerita klasik seperti Mahabharata atau Ramayana. Wayang telah berubah menjadi media pembelajaran kreatif. Wayang kreatif dibuat dengan cara menyesuaikan tokoh yang akan dimainkan. Cocok untuk media belajar anak usia dini (AUD) dan SD.
Biasanya bahannya terbuat dari berbagai pilihan, dari kardus sampai kertas. Peralatan lain yang dibutuhkan adalah gunting, cutter, lem kertas, Bahan-bahan itu ada banyak di sekitar lingkungan kita. Kadang tidak perlu beli untuk memperolehnya. Bahan wayang juga ramah lingkungan serta tidak membahayakan pemakai atau penonton. Media ini bisa dimainkan di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Sangat praktik untuk membawanya.
Agar wayang menjadi enak dilihat, perlu dibuat background yang sesuai dengan setting tempat cerita. Bahan untuk membuat kelir atau background juga dapat terbuat dari kertas dan kardus. Lihat gambar di samping ini.
Cerita yang disampaikan dengan media ini menjadi lebih hidup. Apalagi jika guru mampu mengatur suara sesuai karakteristik tokoh wayang kreatif. Anak-anak pun antusia mendengarkan dan memperhatikan. Cerita di bawah ini adalah contoh pembelajaran yang menggunakan media wayang kreatif
========================================================================
Adik-adik SMB, kali ini Kakak menuliskan salah satu kisah kehidupan Calon Sammasambuddha. Baca dengan teliti dan pahami ceritanya.
SĪLAVANĀGA-JĀTAKA
Para bhikkhu duduk di Balai Kebenaran, berkata, “Awuso,
Dewadatta tidak tahu berterima kasih dan tidak mengenali kebaikan dari
Bhagawan.” Setelah memasuki Balai Kebenaran, Sang Guru bertanya apa yang
menjadi topik pembicaraan mereka, dan mereka kemudian memberitahukannya kepada
beliau. “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata beliau, “bahwa
Dewadatta tidak tahu berterima kasih; pada kehidupan yang lampau ia juga
bersikap demikian, ia tidak pernah mengetahui kebaikanku.” Setelah mengucapkan
kata-kata tersebut, atas permohonan mereka, beliau menceritakan kisah kelahiran
lampau ini.
___________________
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares,
Bodhisatta dikandung oleh seekor gajah di Pegunungan Himalaya. Saat lahir, ia
berwarna putih secara keseluruhan, seperti sebongkah perak yang besar. Matanya
seperti batu berlian, laksana perwujudan dari lima kecemerlangan; merah
mulutnya laksana kain yang berwarna merah tua; belalainya bagaikan perak dengan
bintik merah keemasan; keempat kakinya seakan disemir dengan pernis. Demikian
juga dengan dirinya, berhiaskan sepuluh kesempurnaan, yang merupakan perwujudan
keindahan. Setelah dewasa, semua gajah di Pegunungan Himalaya dalam satu
kesatuan mengikutinya sebagai pemimpin
mereka. Saat menetap di Pegunungan Himalaya dengan delapan puluh ribu (80.000)
ekor gajah sebagai pengikutnya, ia menyadari timbulnya kesombongan karena
menjadi pemimpin rombongan besar. Maka, setelah memisahkan diri dari mereka, ia
tinggal dalam kesunyian di dalam hutan, dan kebaikan dalam menjalani
kehidupannya membuat ia mendapat gelar Raja Gajah Yang Baik.
Sementara itu, ada seorang perimba dari Benares yang datang
ke Pegunungan Himalaya, ia masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu-kayu sebagai
mata pencahariannya. Karena kehilangan arah dan posisi, ia berjalan hilir
mudik, merentangkan tangan dengan penuh keputusasaan dan menangis tersedu
sedan, takut pada kematian yang telah berada di depan matanya. Mendengar suara
tangisan seseorang, Bodhisatta digerakkan oleh rasa belas kasihan dan
memutuskan untuk menolong lelaki tersebut yang membutuhkan pertolongan. Ia
mendekati lelaki tersebut. Namun, saat melihat gajah tersebut, perimba itu lari
ketakutan. Melihat ia melarikan diri, Bodhisatta tidak bergerak, hal ini
membuat lelaki tersebut juga berhenti berlari. Lalu Bodhisatta bergerak maju,
perimba itu kembali berlari, dan berhenti sekali lagi saat Bodhisatta berhenti.
Lalu lelaki ini melihat kebenaran bahwa gajah itu berhenti jika ia berlari, dan
hanya bergerak maju saat ia berhenti. Karenanya, ia menyimpulkan bahwa hewan
itu tidak berniat untuk mencelakakannya, melainkan hendak menolongnya. Maka
dengan berani ia tetap berdiri di tempat. Bodhisatta mendekat dan berkata,
“Mengapa, temanku manusia, engkau menjelajahi tempat ini sambil meratap?”
“Tuanku,” jawab perimba itu, “saya kehilangan arah dan
posisi, serta merasa takut akan kematian.”
Lalu gajah itu membawa lelaki tersebut ke tempat tinggalnya
dan menjamunya selama beberapa hari di sana, menyuguhinya dengan semua jenis
buah-buahan. Kemudian berkata, “Jangan khawatir, temanku manusia, saya akan
membawamu kembali ke perkampungan manusia.” Gajah tersebut menempatkan perimba
itu di punggungnya dan membawanya ke tempat tinggal manusia. Namun orang yang
tidak tahu berterima kasih itu berpikir, jika ditanyai, ia harus mengungkapkan
semuanya. Maka sepanjang jalan di punggung gajah tersebut, ia menandai semua
posisi pohon dan bukit. Akhirnya gajah tersebut membawanya ke luar dari hutan
dan menurunkannya pada jalan menuju Benares, sambil berkata, “Ini adalah jalan
pulangmu, temanku manusia. Jangan katakan pada siapa pun, apakah kamu ditanya
maupun tidak, tentang tempat tinggalku.” Dengan kata-kata tersebut, Bodhisatta
menempuh perjalanan kembali ke tempat tinggalnya.
Setibanya di Benares, lelaki itu berjalan sesuai dengan
tujuannya melalui kota menuju ke pasar para perajin gading. Ia melihat gading
diolah menjadi berbagai bentuk dan kondisi. Ia bertanya kepada para perajin apakah mereka akan memberikan sesuatu untuk
gading seekor gajah yang masih hidup.
“Apa yang membuatmu mengajukan pertanyaan seperti itu?”
tanya mereka. “Gading gajah yang masih hidup jauh lebih berharga daripada yang
telah mati.”
“Kalau begitu, saya akan membawakan beberapa gading untuk
kalian,” katanya dan segera berangkat menuju tempat tinggal Bodhisatta, dengan
membawa bekal selama perjalanan dan juga sebuah gergaji yang tajam. Ketika
ditanya apa yang membuat ia kembali, ia mengeluh bahwa ia sangat miskin dan
dalam keadaan yang menyedihkan sehingga ia tidak bisa bertahan hidup. Karena
itu, ia kembali untuk meminta sedikit gading dari gajah yang baik hati itu
untuk dijual agar dapat menghidupi dirinya. “Baiklah, saya akan memberikan
seluruh gading kepadamu,” kata Bodhisatta, “jika kamu mempunyai sebuah gergaji
untuk memotongnya.” “Oh, saya membawa sebuah gergaji, Tuan.” “Kalau begitu, gergajilah
gading-gading saya dan bawalah bersamamu,” kata Bodhisatta. Kemudian ia menekuk
lututnya hingga berbaring di atas tanah seperti seekor sapi. Perimba itu
menggergaji kedua gading utama Bodhisatta. Setelah gading-gading itu putus,
Bodhisatta mengangkat gadinggading itu dengan belalainya dan berkata kepada
lelaki itu, “Janganlah berpikir, temanku manusia, bahwa saya tidak menghargai
atau tidak menjunjung gading-gading ini sehingga saya memberikan gading-gading
ini kepadamu. Namun seribu kali, seratus ribu kali, saya lebih menyayangi
gading pengetahuan tiada batas yang bisa memahami semua hal. Karena itu, semoga
pemberian saya akan gading-gading ini kepadamu membawa pengetahuan tiada batas
kepadaku.” Diiringi kata-kata tersebut, ia memberikan sepasang gading itu
kepada perimba tersebut sebagai harga atas pengetahuan tiada batas.
Lelaki tersebut membawa kedua gading itu pergi dan
menjualnya. Setelah menghabiskan uangnya, ia kembali menemui Bodhisatta,
berkata bahwa kedua gading tersebut hanya cukup baginya untuk membayar
hutang-hutang lamanya, dan memohon agar Bodhisatta memberikan sisa gadingnya.
Bodhisatta menyetujuinya, dan memberikan sisa gadingnya setelah membiarkannya
dipotong seperti sebelumnya. Perimba itu pergi dan menjual sisa gading itu
juga. Kembali lagi, ia berkata, “Tidak ada gunanya, Tuanku. Saya tetap tidak
bisa bertahan hidup. Jadi, berikanlah padaku pangkal gadingmu.”
“Ambillah,” kata Bodhisatta; dan ia berbaring seperti
sebelumnya. Lalu penjahat yang sangat keji itu menginjak belalai Bodhisatta,
belalai yang suci laksana untaian perak, dan merangkak naik ke atas pelipis
calon Buddha itu, yang bagaikan puncak Gunung Kelasa (Kelāsa) yang
bersalju,—menyepak akar gading itu hingga dagingnya terkelupas. Lalu ia
menggergaji pangkal gading itu dan pergi setelah mendapatkannya. Begitu orang
jahat itu menghilang dari pandangan Bodhisatta, tanah yang padat, yang tidak
terbayangkan luasnya, yang dapat menahan beban Gunung Sineru dan puncak-puncak
yang mengelilinginya, beserta semua kotoran dunia yang menjijikkan, meledak
hancur berantakan membentuk sebuah jurang yang menganga,—seakan tidak mampu
menahan beban semua kekejian itu. Seketika itu juga, nyala api dari neraka yang
paling bawah menyelubungi orang yang tidak tahu berterima kasih itu, membungkusnya
seperti kain kafan kematian, dan membawanya pergi. Saat penjahat itu ditelan ke
dalam perut bumi, dewa pohon yang tinggal di hutan itu membuat wilayah itu
menggemakan kata-kata berikut, “Bahkan hadiah berupa kerajaan yang meliputi
seluruh dunia pun tidak dapat memuaskan mereka yang tidak tahu berterima kasih
dan tidak tahu bersyukur.” Dan dalam syair berikut, Dewa tersebut mengajarkan
tentang kebenaran : —
Semakin kurangnya rasa berterima kasih, semakin
Banyak yang diminta;
Semua hal di dunia tidak dapat memuaskan nafsunya.
Dewa pohon membuat hutan itu bergema kembali dengan syair
tersebut. Sementara Bodhisatta, setelah meninggal dunia, terlahir kembali di
alam yang sesuai dengan perbuatannya.
____________________
Kata Sang Guru, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,
bahwa Dewadatta menunjukkan rasa tidak tahu berterima kasih; ia juga
menunjukkan sikap yang sama pada kelahiran yang lampau.” Setelah uraiannya
berakhir, beliau menjelaskan kelahiran tersebut, “Dewadatta adalah orang yang
tidak tahu berterima kasih pada masa itu, Sariputta adalah dewa pohon; dan saya
sendiri adalah raja gajah yang baik.”
Sumber : Indonesia Tipitaka Center